Selasa, 09 Oktober 2007

Cerita #4

Ini adalah cerita dengan menggunakan tokoh-tokoh dari “The Brethren Court” sebagai pemeran utamanya dengan selingan anchor-anchor sebagai pemanis. Cerita ini adalah fiksi belaka, dan dengan begitu tidak bisa dikaitkan dengan kenyataan. Kepada anchor-anchor yang bersangkutan, apabila kurang berkenan di hati, penulis mohon maaf.
============================================

THE BRETHREN COURT
PANGERAN TAMPAN

MJE

Mje uring-uringan dan hampir saja dia membanting gelas minuman tepat di wajah Andrade_Silva. Masalahnya, harusnya ini menjadi janji ketemuan antara Mje dan Andrade saja, tidak ada yang lain. Setelah lama sering kontak-kontakan, Mje dan Andrade sering sekali bertemu hanya berdua saja, tanpa adanya anggota Brethren Court yang lain. Sedikit banyak hal ini menimbulkan spekulasi, tapi baik Mje maupun Andrade selalu membantahnya.

Sebagai satu-satunya anggota cewek di Brethren Court, Mje memang mendapat perhatian secara khusus oleh Andrade_Silva. Alasannya, sebagai satu-satunya cewek, maka seluruh anggota Brethren Court lainnya haruslah lebih memperhatikan Mje, apalagi di Forum Mje tergolong orang yang pendiam, jadi dia tak pernah menuntut seandainya dia tidak diberikan gambar idolanya. Malah Andrade yang kemudian turun tangan meminta seluruh Brethren Court untuk menyempatkan diri memberikan Mje “sesuatu yang dia mau”. Mengenai ini, semua anggota Court tahu itu, tapi bagaimana kedekatan Mje dan Andrade di luar Forum resmi, tidak ada yang tahu bagaimana pastinya. Hanya saja, bagi Andrade, posisinya sebagai seorang “Steward and Keeper of The Thread” membuatnya harus mengayomi semua pihak, termasuk Mje.

“Demi Tuhan, Ndre!! Jij gak bisa apa, cari orang lain??” tanya Mje sambil naik pitam.
“Maaf, Mje, tapi aku nggak tahu lagi kudu cari siapa? Cuma untuk beberapa jam saja, janji deh,” kata Andrade dengan penuh perasaan bersalah.
Mein Got! Jij itu sudah gila, ya!!?? Kenapa ik harus ngejagain sepupu jij itu?? Istri bukan, pacar bukan, emangnya ik ini siapa??? Baby sitter???” hardik Mje lagi.
“Ayolah Mje, mau ya, please??” kata Andrade sambil menghiba.

Mje hanya menarik nafas saja penuh kejengkelan. Tadinya dia pikir disuruh kemari mau dikasi apa atau gimana, gitu, eh, malah disuruh ngejagain sepupunya si Andrade. Hmpfh! Kenapa sih anak kecil ini tidak diajak aja ke Dufan atau Ancol, kenapa malah diajak ke mall? Kenapa pula Andrade harus menitipkannya pada Mje?? Apa sih yang hendak Andrade lakukan hingga harus meninggalkan “kewajibannya” dan melemparkannya ke Mje? Lalu, kenapa Andrade “memberikannya” ke Mje?? Pacar jelas bukan, istri apalagi…tidak ada angin tidak ada hujan, eh…suruh njagain anak kecil. Jelas ini bukan hari yang diingikan oleh Mje. Akan tetapi…

“Baik, tapi hanya beberapa jam aja, kan??” tanya Mje sambil menunjuk ke Andrade.
“Iya, aku janji, setelah urusanku selesai, aku bakal ngejemput dia,” kata Andrade.
“Oke, tapi nggak gratis, lho!” ancam Mje.
“Anything lah!” kata Andrade, “jadi mau, nih?”
“Nggak ada plihan lain,” kata Mje sambil menghela nafas, “mana anaknya?”

Andrade lalu memanggil seorang anak kecil, dan anak kecil itu langsung datang dan mendekti Andrade. Anak laki-laki, sepupunya Andrade, masih seumuran SD kalau Mje tak salah taksir. Dan…hei, ini anak lucu juga. Mje lalu tersenyum pada bocah itu, dan begitu juga bocah itu pada Mje dengan senyumnya yang masih polos dan malu-malu, khas anak kecil.

“Namanya Krishna,” kata Andrade.
“Halo, Krishna,” sapa Mje dengan ramah, “aku Mje,”
Krishna kecil pun membalas Mje dengan senyuman yang malu-malu.
“Nah, Krishna, kamu entar ama Mbak Mje dulu yah, aku mau pergi sebentar,” kata Andrade.
“Lama nggak?” tanya Krishna.
“Nggak koq, sayang,” kata Andrade, “kamu nggak papa, kan?”

Krishna hanya menggeleng, tampaknya dia cukup tidak keberatan dengan hal itu.

“Eh, Ndre, dia nakal nggak?” tanya Mje.
“Oh, nggak koq, dia orangnya nurut,” kata Andrade, “nggak senakal sepupuku yang lain,”
“Emangnya jij punya sepupu berapa orang?” tanya Mje.
“Ah, you don’t want to know,” kata Andrade.

Maka Andrade pun segera pergi meninggalkan sepupunya Krishna untuk bersama dengan Mje. Hmm, Mje hanya menggeleng-gelengkan kepala saja. Urusan apa sih bagi Andrade yang amat penting sehingga dia harus meninggalkan sepupunya? Mje tidak mau tahu.

Kemudian Mje mulai kebingungan. Waduh, apa yang harus dia lakukan dengan anak ini? Mje memang punya pengalaman mengurus anak kecil, keponakannya, tapi anak ini jelas bukan keponakannya. Mje tidak tahu apa yang dia suka, bagaimana kebiasaannya, dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Bagaimana pula kalau ternyata anak ini merepotkan Mje? Aduh, bingung deh. Tapi, ah…ya Mje tahu.

“Dik, ke toko buku aja, yuk?” ajak Mje.
“Toko buku?” tanya Krishna.
“Iya,” ajak Mje.
“Ayuk!” balas Krishna dengan bersemangat.

Ah baguslah, pikir Mje, bagian pertama terlewati, dan semoga dia bisa menjalani keseluruhan hari ini tanpa harus merusaknya, karena Mje sudah amat sangat mendongkol hari ini. Semoga saja hari ini tidak menjadi lebih buruk.

Sesampainya di toko buku di mall itu, Mje pun “melepaskan” Krishna untuk bermain dn membaca buku-buku, yah, setidaknya Andrade benar, kalau anak ini tidak nakal. Mje sendiri mencari kesibukan dengan browsing buku-buku di sini. Hei, ada buku Lord of The Ring. Andrade sering merekomendasikan buku ini, apa iya sebagus filmnya? Hmm, ada juga The Hobbit, prequelnya, bagus lah, tidak terlalu tebal lagi.

“Krishna!!” seorang anak kecil memanggil Krishna. Baik Krishna maupun Mje pun menoleh.

“Rara!” balas Krishna dengan senang.

Lalu seorang anak kecil perempuan, sepertinya sebaya dengan Krishna pun berlari menghampiri Krishna. Wah, rupanya Krishna bertemu dengan temannya, baguslah, jadi dia bisa sedikit lebih tenang, begitu pikir Mje. Mje hanya tersenyum-senyum sendiri melihat dua anak kecil itu hingga…

“Rara!! Jangan lari-lari!!” teriak seseorang.

Jantung Mje hampir saja berhenti. Astaga, dia mengenal betul suara itu! Suara bass yang berat lagi sexy dan menampakkan kemachoan, suara yang selama ini setiap malam selalu membuai Mje sebelum Mje tidur. Mje sekilas melihat sesosok pria tegap, tinggi besar menghampiri Krishna dan temannya, Rara. Mje memalingkan muka, tak berani melihat.

“Astaga, beneran nggak sih? Apa aku cuman mimpi??” tanya Mje dalam hati.

“Nama kamu siapa?” tanya sang pria kepada Krishna.
“Krishna, Om!” jawab Krishna mantap.
“Ini temen sekelas Rara, Om!” tambah Rara.
“Krishna datang ke sini sendirian?” tanya sang pria.
“Nggak, tuh ama Mbak-nya,” kata Krishna sambil menunjuk ke arah Mje.

Mje tetap tak berani melihat dan malah pura-pura membaca. Ayolah, Mje! Bukannya kamu selama ini selalu terbayang-bayang suara itu? Ah, tapi bisa aja itu cuman halusinasi, bisa saja itu suara orang lain, belum tentu dia lah!

“Mbak! Diajakin kenalan, noh!” kata Krishna tiba-tiba sudah menarik rok Mje.

Mje lalu memutar kepalanya dan…deg! Wajah itu, suara itu, rambut itu…astaga…astaga, ini tidak mungkin! Tidak mungkin! Mje pasti bermimpi, tapi ini betul-betul dia, itu Ralph Tampubolon! Anchor MetroTV yang selama ini selalu membuainya setiap malam dengan suara beratnya yang sexy. Sekarang dia berdiri tepat di depan Mje, dengan wajahnya, senyumnya, dan aduuh….Mje hampir saja tidak bisa bernafas.

“Halo,” sapa Ralph dengan ramah.
“Ha…halo juga…” kata Mje dengan agak gugup.
Saking gugupnya Mje, maka buku yang dibawanya terjatuh. Mje buru-buru berjongkok untuk mengambilnya, tapi ternyata Ralph pun ikut pula berjongkok untuk mengambil. Kedua tangan mereka pun bertemu di buku itu dan ketika tangan Mje bersentuhan dengan tangan Ralph, Mje merasa jantungnya berhenti berdetak, lalu berdetak kembali tapi dengan lebih kencang sehingga Mje bisa merasakan denyutan itu amat jelas. Perlahan-lahan, wajah Mje pun merona merah. Dengan cepat Mje lalu menarik tangannya, dan ia tampak seperti putri malu yang baru saja disentuh.

“Maaf, ini…” kata Ralph sambil memberikan buku itu kepada Mje.

Aduh, Mje! Ralph tersenyum lagi! Oh, entahlah dimana Mje berada saat ini, tapi sepertinya dia sudah melayang di antara awan. Dengan malu-malu, Mje menerima buku itu, tapi kemudian tangan Ralph kembali diulurkan ke arahnya.

“Aku Ralph,” kata Ralph, “dan kamu…”

Mje melihat sejenak, dan masih dengan malu-malu, ia pun membalas uluran tangan Ralph.

“M…Mje,” kata Mje.
“Oke, Mje…ini adik kamu?” tanya Ralph.
“Iya…oh, eh, bukan…aku cuman njagain dia ampe kakaknya yang asli mbalik,” kata Mje salah tingkah…aduuh…tololnya.
“Wah, sama kalau gitu,” kata Ralph, “kita jaga bareng-bareng, yuk,”

Hah?? Jaga bersama-sama? Ralph? Dengan Mje?? Entah mana yang lebih buruk bagi Mje.

“Ayolah, aku lagi off duty nih, jadi nggak ada temen buat ngobrol,” kata Ralph, “mau ya?”

Mje lalu di luar kesadarannya sendiri, mengangguk. Waah…apa yang akan terjadi hari ini?

Lalu Mje dan Ralph pun browsing buku bersama-sama. Well, Ralph tampaknya berminat juga dengan membaca buku, dan pengetahuannya pun luas juga. Berkali-kali ia menerangkan mengenai sebuah buku pada Mje, tapi Mje hanya bisa mengangguk-angguk saja. Maklumlah, perhatian Mje saat ini sedang tidak berada pada buku atau anak-anak, melainkan pada Ralph. Ya ampun…dekat sekali dia dengan Mje, dan Mje pun bisa mencium bau minyak wangi yang kuat dan macho itu sehingga membuat darah Mje berdesir…wow… Sekarang Mje berharap semoga Andrade tidak kembali terlalu cepat.

==================================

“Om! Kita maen ice-skating, yuk!!” pinta Rara kemudian kepada Ralph.
“Boleh,” kata Ralph.
“Si Krishna boleh ikut juga, nggak?” tanya Rara lagi.
“Boleh nggak, Mje?” tanya Ralph pada Mje.
“Hah? Eh, iya…boleh,” kata Mje.

Sebenarnya Mje tak tahu apakah si Krishna ini suka maen skating atau tidak. Jujur juga, dia tak bisa maen ice-skating. Orang waktu dulu maen sepatu roda biasa saja dia sering sekali jatuh. Satu-satunya alasan Mje mengiyakan ajakan itu adalah supaya dia bisa tetap dekat dengan Ralph.

Masih sambil terus mempertanyakan keputusannya sendiri, Mje pun melangkah bersama dengan Ralph ke arena ice-skating. Wow, Ralph menggandeng Krishna dan Rara bersama-sama, sepertinya pria ini lebih tahu cara mengasuh anak-anak daripada dirinya. Tanpa sadar, mereka pun sudah ada di ruang ganti arena ice skating, memakai sepatu skating dan sarung tangan serta syal, karena katanya di dalam cukup dingin.

Mje melangkah dengan agak canggung di atas sepatu skate itu. Tidak biasa dia, dan hampir seperti pinguin yang tengah belajar berjalan. Aduh, moga-moga saja teman-temannya tidak melihatnya dalam keadaan seperti ini, secara, dia kan paling malas kalau diajakin ice-skating.

Rara dan Krishna langsung saja meluncur denga amat mulus dan sepertinya dia menikmatinya. Waduh, rupanya anak kecil itu bisa juga, jangan-jangan diajari ama Andrade, nih. Begitu pula Ralph pun ikut turun dan meluncur. Walah…tinggal Mje sendirian nih. Oke, nggak boleh keliatan kalau nggak bisa…anak kecil aja bisa pasti Mje bisa, maka Mje masuk ke arena dan…

WHOOPS!!

Mje tiba-tiba saja meluncur cepat dan dia tidak bisa mengendalikannya, AIIH!! Rupanya permukaan es ini lebih licin daripada dugaannya. Mje berteriak histeris, dia berusaah menjaga keseimbangannya, tapi gagal,…aduh jatuh deh…yah-yah..AAA!!!!

“PLOK”

Eh, koq tidak sakit? Mje membuka matanya dan ternyata Ralph sudah ada diatasnya. Hah! Mje hampir kaget sekali melihat wajah itu begitu dekat dengannya. Dengan kecepatan yang luar biasa, Ralph pun berhasil menangkap Mje tepat sebelum Mje jatuh terhempas ke atas permukaan es. Saat itulah Mje merasa seolah-olah waktu berhenti berputar, dan seluruh dunia seolah bergerak dengan cepat mengitari mereka. Semua suara seolah-olah terdiam, dan hanya ada Mje dan Ralph, tidak ada orang lain. Mje pun menikmati wajah Ralph yang berlatar belakangkan lampu neon putih yang temaram. Satu detik pun terasa seperti berabad-abad baginya.

“Kamu nggak papa?” tanya Ralph.
“Oh, nggak papa,” jawab Mje setelah tersadar dari keterkejutannya.

Ralph pun segera membantu Mje berdiri kembali, dan kini Mje merasakan seluruh dunia kembali berputar dengan normal. Wow, apa itu tadi? Ralph hanya tersenyum saja melihat Mje, tapi dia tampaknya tidak sedang mengolok-olok Mje, padahal beberapa orang tampak tidak dapat menahan geli ketika melihat Mje. Wajah Mje pun kembali memerah, merona karena malu.

“Pertama kali, yah?’ tanya Ralph.

Mje hanya mengangguk pelan, masih malu-malu.

“Ya udah, yuk aku ajarin,” kata Ralph.

Tiba-tiba Ralph mendekap Mje dari belakang, dan tangannya menjaga kedudukan Mje agar tidak jatuh, sehingga Mje tepat bersandar pada tubuh Ralph yang terasa hangat dan nyaman. Mje merasa seolah seluruh darahnya kembali mengalir kencang. Ralph pun memegang tangannya, dan mulai bergerak, saat itu pula Mje bergerak bersama-sama dengan Ralph.

Mje seolah tak mau merasakan apa-apa lagi, dan ia seperti putri salju dalam drama-drama balet yang pernah ia tonton. Mereka berputar mengitari arena, yang meskipun banyak ada orang tetapi Mje merasakan arena ini seolah hanya dihuni oleh mereka berdua. Apalagi saat itu musik mengalun…yah, The Swan Lake, karya Tchaikovsky. Fixmanius begitu menyukai lagu ini, dan kini Mje pun menyukainya, apalagi bila dinikmati bersama dengan orang yang tepat. Mje menutup mata, ia merasakan hembusan angin dingin yang menerpa wajahnya ketika mereka bergerak, dan ia pun menikmati pula hembusan anfas Ralph yang memainkan rambutnya yang berkibar-kibar.

Seiring dengan Swan Lake yang terus mengalir, mereka berdua pun bagaikan dua ekor angsa yang terbang dan meluncur anggun menembus awan. Kini Mje betul-betul merasakan lagu gubahan Tchaikovsky itu seolah mengalir dalam setiap pembuluh nadinya, lagu itu begitu sendu dan mengalir, dan menyentuh sisi perasaan Mje yang paling dalam, maka Mje pun membiarkan dirinya terbawa oleh lagu itu, terbang melayang, dibawa oleh Ralph, yang selama ini selalu menemani mimpinya. Andai saja ia bisa menghentikan waktu dan saat ini bisa berlangsung selamanya.

==================================

Satu jam kemudian, mereka sudah berada di kedai es krim. Ah…Mje masih terbuai, terhanyut dalam utopia ketika ia menjadi putri salju yang tengah meluncur bersama dengan seorang pangeran tampan. Dan yah, Ralph memang orang yang tepat sebagai pangeran tampan itu. Sambil melepaskan lelah akibat bermain tadi, Ralph pun bercerita…oh, rupanya si Rara ini anaknya kerabatnya yang kebetulan hari ini sedang dititipkan kepada Ralph. Wah, koq story-nya sama dengan punya Mje? Hmm, kini Mje amat sangat mensyukuri hari ini. Ia berbincang-bincang lama sekali dengan Ralph hingga…

“Wah, Mje, kita pergi duluan nih, soalnya Ibunya Rara udah ngebel,” kata Ralph.

Mje hanya mengangguk saja. Yah, akhirnya saat-saat itu pun berakhir pula. Mje hanya menatap Ralph, betapapun tak relanya, tetap dia harus membiarkan Ralph pergi.

“Aku minggu depan bakal ngejagain Rara lagi, mungkin kita bisa ketemu lagi?” tanya Ralph.
“Yah, kita lihat saja,” kata Mje sambil tersenyum senang.

Mje pun melepas Ralph dengan lambaian tangan yang amat hangat.

Beberapa menit kemudian, Andrade pun kembali, tergopoh-gopoh dia, seolah merasa agak bersalah dengan Mje. Yah, Andrade kembali di saat yang tepat, pikir Mje.

“Gimana, Mje? Si Krishna ngerepotin, nggak?” tanya Andrade.
“Oh, nggak koq, jij nggak usah khawatir, Ndre,” kata Mje.
“Ya sudah kalau gitu...” kata Andrade lega.
“Eh ya, Ndre, minggu depan jij disuruh njagain Krishna lagi, nggak?” tanya Mje.

Andrade tampak tidak mengerti dengan pertanyaan Mje.

“Kenapa, ik?” tanya Andrade menyelidik.
“Oh, nggak papa,” kata Mje.

Lalu Mje mulai mendendangkan sebuah lagu yang membuat dahi Andrade berkerut…yah, lagu yang didendangkan adalah lagu Swan Lake dari Tchaikovsky. Dan Mje pun melihat ke arah Andrade sambil tersenyum dengan penuh arti.


THE BRETHREN COURT
***FIN***


PS: Special thank’s and smile to Krishna, my lovely cute little-cousin

Next on The Brethren Court:

Maman198 harus mengambil les bahasa mandarin untuk mengisi waktu, tapi di sana, justru dia menemukan sebuah kejutan. Kejutan apakah itu?

Petualangan Mje, Maman198, Charlie368, Fixmanius, Janissary, dan Andrade_Silva terus berlanjut. Apakah kali ini mereka bisa bertemu lagi dengan Lucky Savitri dkk?

Suasana nonton bareng antara Manchester United vs Chelsea menjadi ramai dengan kehadiran Dian Krishna, tapi, mengapa dia malah ribut dengan Fixmanius dan Janissary?

Sebuah kapal misterius muncul, dan armada gabungan Inggris, Perancis, Belanda, dan Spanyol mulai menghancurkan Tortuga. Tujuan mereka hanya satu, yaitu memburu habis The Brethren Court! Bisakah The Brethren Court menyelamatkan diri mereka, juga bisakah mereka menyelamatkan The Anchors? Lalu kapal misterius apakah yang muncul dan menghancurkan semua bajak laut yang dia temui di Karibia?

Jangan lewatkan di episode-episode berikutnya dari “Brethren Court: The Series”!

1 komentar:

Ririn Hutagalung mengatakan...

terima kasih telah berbagi cerita.
saya senang membaca cerita anda.
:)